COVER STORY: Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan, SOS Sepak Bola Indonesia

Jakarta-” Bisa jadi aku tidak ingin nonton Arema lagi. Cukup hingga di sini saja,” Rizal Putra Pratama, Aremania yang kehabisan ayah serta adiknya di Kejadian Kanjuruhan.

Rumah berwarna hijau di Kebonsari RT 003 atau RW 001, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Pekan( 10/ 10/ 2022), nampak lapang. Pintu rumah terbuka luas. Seorang wanita berumur 40- an tahun muncul. Anak laki- lakinya menyusul di belakang. Wajah keduanya sedang layuh serta pucat. Jejak kesedihan mencengkeram kokoh.

Tidak lama, tamu- tamu berdatangan, tetangga serta ahli kerabat. Mereka mengaji di teras rumah. Melangitkan permohonan.

Mereka mendendangkan doa buat Muhammad Arifin( 45 tahun) serta Muhammad Rifki Aditya( 13 tahun). Keduanya merupakan 2 dari 132 korban tewas di Kejadian Kanjuruhan sesudah laga Arema FC anti Persebaya Persebaya, pada Sabtu malam yang nahas, 1 Oktober 2022.

Pergi Ke Stadion

 Bapak serta anak itu pergi ke Stadion Kanjuruhan buat bersuka cita mensupport Arema yang mereka cintai mengalami laga sarat gengsi melawan Persebaya Surabaya, tetapi berakhir nestapa. Untuk Muhammad Rifki, itu jadi momen awal serta terakhirnya menyaksikan langsung pertarungan Singo Gila di Stadion Kanjuruhan.

Keberangkatan bapak serta anak itu meninggalkan gelisah tidak terperi untuk Lutfiati, 44 tahun. Beliau merupakan istri Arifin sekalian bunda Rifki. Gelisah mendalam pula menerpa Rizal Putra Pratama( 22 tahun), anak kesatu di keluarga itu. Rizal pula berangkat ke Stadion Kanjuruhan malam itu, tetapi cuma menyaksikan dari luar, serta aman dari kejadian seram di dalam stadion.

” Sesungguhnya aku tidak kepikiran ingin nonton ke Stadion Kanjuruhan, sebab tidak memiliki karcis. Karcis pula telah sold out. Namun, adik serta ayah mengajak nonton ke Kanjuruhan, ingin nobar di luar saja,” cakap Rizal membuka cerita perih pada malam itu, didampingi ibunya yang sebagian kali meratap terisak dikala tidak daya menanggung kesedihan.

Muhammad Arifin telah lama tidak menyaksikan langsung aksi Arema di stadion. Sementara itu, di era mudanya beliau merupakan Aremania yang giat mensupport Singo Gila berkompetisi, baik kandang ataupun tandang. Kecintaannya kepada Arema diturunkan ke Rizal serta Rifky. Rizal juga berkembang jadi partisan ekstrem Singo Gila.

” Tutur ayah, iki loh Le, Arema. Kebanggaane wong Malang,” melamun Rizal.

Hari itu mereka pergi berenam ke Stadion Kanjuruhan. Rizal, si bapak, Rifki, sepupunya Pasha( seumuran dengan Rifki), serta 2 temannya, tanpa menggenggam karcis. Cuma ingin nonton serempak di luar stadion. Tetapi, terdapat orang asing yang sedemikian itu saja membagikan karcis free pada Arifin. Cuma terdapat 3 karcis, jadi tidak seluruh dapat masuk stadion.

” Sebab adik serta Pasha belum sempat nonton, aku memerintahkan mereka saja yang masuk. Aku pula memohon ayah mendampingi, serta masuk ke mimbar 11, tempatnya Aremania dari Tumpang. Lalu aku nobar di depan stadion,” tutur Rizal.

Sehabis perlombaan berakhir, Rizal berjalan mengarah parkiran, sambil menunggu bapak, adik, serta sepupunya balik dari dalam stadion. Tetapi, mereka tidak menyambangi timbul. Dikala itu telah terdapat kabar mengenai penembakan gas air mata di dalam stadion. Di dalam stadion telah gaduh.

Mulai Cemas

Rizal mulai cemas. Ia bergegas mengarah mimbar 11. Pintu di mimbar itu telah terbuka serta banyak korban berguguran. Rizal blingsatan. Ia menanya pada seseorang angkatan mengenai kehadiran papa serta adik. dan sepupunya. Angkatan itu memintanya mencari mereka ke mimbar VVIP. Di situ, Rizal berjumpa Aremania dari Korwil Tumpang. Rizal lalu bertanya kehadiran papa, adik, serta sepupunya.

” Aku berjumpa orang sebelah aku, Mas Trimo. Ia bilang papa aku membawakan kanak- kanak( partisan) ke Rumah sakit Wava Husada serta lagi mencari Rifki. Pasha telah bertemu, keadaannya baret seluruh di bagian kaki, habis diinjak- injak. Aku langsung memohon diantarkan ke Wava Husada. Perasaan aku telah tidak karu- karuan,” tutur Rizal.

Di Rumah sakit Wava Husada, Rizal berjumpa papa Pasha. Ia bertanya kehadiran papa serta adiknya, dijawab sedang terus dicari. Rizal justru disuruh kembali. Anak muda yang sempat berkelana ke Area itu kesimpulannya kembali walaupun perasaannya telah tidak karu- karuan.

Hingga di rumah, banyak orang desa telah terkumpul di situ. Dikala seperti itu ia diberi ketahui papa serta adiknya tewas dalam kejadian di Stadion Kanjuruhan. Bunda Rizal pingsan, tidak daya menanggung kesedihan yang menghantam.

” Bagi cerita sahabat, ayah ditemui di mimbar 11. Yang menemukan Mas Tirta( tetangganya).

Dikala itu situasi ayah telah ketat nafas, ngap- ngap. Ayah dibawa ke Rumah sakit Wava Husada, namun tidak terbantu sebab kehilangan oksigen,” tutur Rizal.

” Jika adik, informasinya telah luang pergi stadion, lalu minta minum ke orang. Tetapi ia mau membantu ayah serta mencari aku, kesimpulannya balik ke dalam stadion serta tidak tertolong. Rasanya pilu sekali. Masa depan adik aku masih jauh. Mengapa kenapa didapat semacam ini,” ekstra Rizal sambil terisak, yang berkata dikala itu situasi pagar di mimbar 11 telah roboh, banyak berantakan sepatu serta banyak orang yang digotong, apalagi saking paniknya beliau tidak memperhatikan gas air mata yang kental.

Titik langka Sepak Bola Indonesia

Kejadian Kanjuruhan jadi titik nadir sepak bola Indonesia. Tidak terdapat sepak bola yang dengan harga nyawa, satu orang juga, terlebih 132 orang. Sepak bola Indonesia, yang nyaris senantiasa kusut, mendunia buat alibi yang salah. Insiden Kanjuruhan jadi kejadian terburuk kedua dalam asal usul sepak bola bumi, apalagi terkelam di masa modern.

Sesungguhnya ini bukan kali awal kekacauan melumangkan perlombaan sepak bola Indonesia. Ini pula bukan kali awal sepak bola Indonesia memakan korban jiwa. Sepak bola Indonesia tidak sempat sungguh- sungguh berbenah dengan bertumpuk kejadian yang terjalin sepanjang bertahun- tahun, yang kesimpulannya wajib dibayar mahal di Kanjuruhan.

Rekor Yg Terpatahkan

Pada malam itu, Arema selaku tuan rumah takluk 2- 3 dari si kompetitor kekal, Persebaya Surabaya. Rekor Arema tidak sempat takluk di kandang dikala menyajikan Persebaya yang bertahan selama 23 tahun patah. Aremania kecewa, turun ke alun- alun serta suasana jadi tidak teratasi.

Dikala itu, tidak ada bonek yang datang, sesuai perjanjian semenjak 2006 kalau Aremania serta Bonek tidak akan bertamu di turnamen tandang.

Polisi menanggulangi kekacauan itu dengan amat kasar. Mereka berkali- kali menembakkan gas air mata ke alun- alun serta mimbar, paling utama 11 sampai 13. Pemirsa jadi blingsatan, berdempet- dempetan mau meninggalkan stadion. Gas air mata pula membuat banyak pemirsa ketat nafas.

Akhirnya, banyak yang tewas sebab kehilangan nafas, ataupun teraniaya dikala akan pergi pintu stadion. Korban lalu berguguran. Tidak sedikit yang sedang kanak- kanak, tercantum Rifki. Korban paling muda terkini berumur 3 tahun.

Kekalutan di dalam stadion malam itu ditafsirkan dengan gamblang oleh Sindu Dwi Asmoro, badan, Blimbingham, Komunitas Aremania yang terdapat di wilayah Blimbing Kota Apes, yang dikala itu bersandar di mimbar 14.

Ia berkata dikala perlombaan berakhir, terjalin kekacauan di tribunnya, dampingi sesama Aremania, sebab meluapkan kekesalan. Setelah itu terdapat satu partisan turun ke alun- alun dari mimbar yang lain, baginya dari mimbar 10. Disusul 2 orang yang lain, kemudian beramai- ramai ratusan ataupun ribuan partisan turut turun ke alun- alun.

” Dikala gas air mata awal ditembakkan, aku sedang ada di mimbar 14 bareng sahabat, menunggu situasi hening dahulu. Nyatanya kenapa tembakan gas air mata selalu, membuat pemirsa blingsatan, terlebih yang membawa anak, ataupun yang telah berumur. Orang yang tidak sempat kena gas air mata tentu blingsatan dalam suasana semacam itu,” tutur Sindu.

” Kita sedang bertahan di mimbar 14, sebab jika ingin pergi di dekat pintu berdempet- dempetan. Pintu pula ditutup, tidak dapat pergi. Sebabnya supaya pemeran Persebaya kembali dahulu. Tetapi, di sana kita ditembaki gas air mata mati- matian oleh polisi. Banyak korban yang tewas.”

” Situasinya amat mencekam. Mimbar yang sangat banyak kena tembakan itu balik gawang, 11, 12, 13, serta 14 ditembak tapi nggak banyak. Yang di media- media viral betul pintu 12- 13, belakang gawang, tempatnya curva sud. Jika yang aku hitung kurang lebih 15 tembakan gas air mata. Kita posisi poanik berantakan,” sambung laki- laki berumur 22 tahun itu.

Dikala memandang banyak korban berguguran, Sindu serta sahabatnya turun ke alun- alun. Mereka membantu menggendong seseorang bocah, ibu- ibu, dekat 10 orang serta membawanya ke VIP. Nyatanya, di ruang pemindahan telah banyak partisan yang tewas berbanjar, sebagian yang lain nampak ketat nafas.

” Terdapat yang bilang, Aduh abang, saya telah tidak kuat. Bantu anak aku. Terdapat pula yang meratap. Kita membantu seadanya. Tidak berpikir sedemikian itu banyak korban yang tewas. Aku hingga tidak dapat ngomong apa- apa,” tutur Sindu.

Sehabis kejadian Kanjuruhan, Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat, dilepas. Nasib serupa pula dirasakan Irjen Nico Afinta, yang pula dilepas dari kedudukan Kapolda Jawa Timur.

Pada 6 Oktober, Kapolri Listyo Sigit Prabowo memublikasikan 6 terdakwa dalam kejadian di Stadion Kanjuruhan. Mereka merupakan Ketua Utama PT Liga Indonesia Terkini Akhmad Hadian Lukita, Pimpinan Badan Eksekutif Perlombaan berinisial AH, Security Officer berinisial SS, Kabagops Polres Malang Wahyu SS, Badan Brimob Polda Jatim berinisial H, serta Kasat Samapta Polres Malang berinisial TSA.

Gas Air Mata serta Tanggung Jawab PSSI

Warga tidak puas dengan jawaban dari polisi. Mereka menuntut Kejadian Kanjuruhan wajib diusut berakhir, tanpa terdapat kenyataan yang ditutup- tutupi. Gimana tidak, sepanjang rentang 2 minggu, pihak- pihak pemangku kepentingan seakan berkompetisi melontarkan tanggung jawab.

Polisi bersikukuh sebut gas air mata bukan pemicu kematian di Kejadian Kanjuruhan. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Angket Dedi Prasetyo mengklaim dengan cara kedokteran tumbangnya korban jiwa dalam Kejadian Kanjuruhan bukan sebab gas air mata, namun sebab kekurangan oksigen sampai terinjak- injak.

PSSI pula memilih lepas tanggung jawab. Ketua umumnya, Mochamad Iriawan nama lain Iwan Bule, sama sekali tidak membuktikan isyarat ingin mundur selaku wujud tanggung jawab akhlak. PT LIB selaku operator liga pun mengelak bertanggung jawab.

Badan eksekutif Arema mengaku sedia bertanggung jawab dengan cara moril, walaupun dengan keras menuduh kejadian Kanjuruhan sebab tembakan gas air mata yang berkali- kali, ataupun tidak terdapat berperan penjualan karcis melampaui kapasitas ataupun SOP penerapan perlombaan yang salah.

Belum terdapat pihak- pihak yang dengan cara ksatria berterus terang bersalah, sementara itu nyata- nyata terdapat 132 nyawa yang melayang di Kanjuruhan.

Penguasa beranjak dengan membuat Tim Gabungan Independen Pencari Fakta. Sehabis bertugas sepanjang 3 minggu, TGIPF memberikan saran serta kesimpulan pada Kepala negara Joko Widodo.

Salah satu kesimpulan yang wajib digarisbawahi merupakan TGIPF memberi tahu kepada Kepala negara Jokowi kalau gas air mata jadi pemicu penting meninggalnya 132 orang pada kejadian Kanjuruhan.” Yang tewas, cacat, serta kritis ditentukan terjadi sebab berdempet- dempetan sehabis terdapat gas air mata yang disemprotkan,” ucap Pimpinan TGIPF, Mahfud MD.

” Kenyataan yang kita temui, korban yang jatuh, cara tumbangnya korban itu jauh lebih seram dari yang tersebar di tv serta alat social,” ucap Pimpinan TGIPF, Mahfud MD.

” Sebab kita merekonstruksi dari 32 Kamera pengaman yang dimiliki oleh petugas keamanan. Itu lebih seram dari semata- mata disemprot gas air mata kemudian tewas,” tuturnya.

TGIPF kejadian Kanjuruhan pula memohon kepolisian buat lalu melaksanakan pelacakan perbuatan kejahatan kepada peristiwa mengenaskan pada 1 Oktober 2022.

Satu nilai lagi yang diinformasikan TGIPF merupakan PSSI serta para pengelola kebutuhan liga sepak bola Indonesia wajib bertanggung jawab, terpaut Kejadian Kanjuruhan yang terjalin pada laga Arema FC versus Persebaya Surabaya, 1 Oktober 2022.

TGIPF memohon pada PSSI serta semua deretan Komite Eksekutif( Exco) mengundurkan diri selaku wujud pertanggungjawaban akhlak atas tumbangnya korban tewas sebesar 132 orang.

Tidak hanya itu, TGIPF mengatakan Pemerintah tidak hendak membagikan izin perlombaan liga sepak bola profesional di dasar PSSI ialah Liga 1, Liga 2, serta Liga 3, hingga dengan terbentuknya pergantian serta kesiapan yang penting oleh PSSI dalam mengatur serta melaksanakan pertandingan sepak bola di Tanah Air.

Lebih dahulu, PSSI lebih dahulu menjatuhkan hukuman. Arema dihukum tidak bisa mengadakan perlombaan kandang di Malang sampai akhir pertandingan 2022 atau 2023. PSSI pula memidana Panitia Pelaksana pertandingan Arema, FC, Abdul Haris. Ia dilarang beraktivitas di sepak bola seumur hidup.

Menyerah serta Berhenti Nonton Sepak Bola Indonesia

Ganjaran PSSI buat Arema membuat Malang hendak terpinggirkan dari berisik pikuk pertandingan golongan tertinggi sepak bola sampai akhir masa 2022 atau 2023. Arema wajib main kandang dengan jarak minimal 250 km dari Malang.

Sepak bola yang sepanjang ini jadi salah satu denyut nadi Malang hendak lenyap. Tetapi, sebagian Aremania apalagi sama sekali tidak keberatan dengan realita getir itu.

Mereka reka kehabisan tontonan sepak bola di Malang hingga keadilan di Kejadian Kanjuruhan betul- betul ditegakkan. Mereka pula mendesak revolusi besar- besaran sepak bola nasional. Bila 2 desakan itu tidak dipenuhi, mereka memilih gantung syal, selamanya meninggalkan Arema serta sepak bola Indonesia.

Sepak bola Indonesia nyata tidak sungguh- sungguh saja ketika para pendukung yang amat loyal juga meneguhkan diri hendak menyudahi menyaksikan perlombaan ke stadion. Mereka memilih meninggalkan Arema serta sepak bola Indonesia hingga permasalahan Kejadian Kanjuruhan betul- betul diusut berakhir serta sepak bola Tanah Air direvolusi besar- besaran dari asal hingga ambang.

Seperti itu jalur yang diseleksi Sindu, yang sudah mensupport Arema lebih dari 15 tahun, serta lahir dari papa serta bunda yang pula seseorang Aremania serta Aremanita.

” Sehabis peristiwa malam itu aku pulang dan tidur sebab tubuh telah lesu. Aku kemudian amati informasi, kenapa nyatanya korbannya hingga ratusan. Aku kemudian bertamu sahabat, buat mengakumulasi selendang, ingin gantung selendang. Enggak harus Arema- Arema lagi,” tutur Sindu.

” Nyawa tidak cocok dengan sepak bola. Lebih bagus tidak harus mensupport Arema, tidak harus nonton lagi.”

” Aku telah tidak mempertimbangkan ke depan semacam apa. Yang terutama merupakan melacak berakhir permasalahan ini, biar korban kejadian Kanjuruhan dapat keadilan. Memanglah betul aku serta sahabat aman, tetapi batin serta jiwa kita tidak hening. Kita memohon kesamarataan buat saudara- saudara kita. Apakah ke depan kita hendak balik ke stadion? Kita tidak ketahui,” imbuh Sindu.

Sindu berhadap insiden suram itu janganlah hingga terulang lagi. Ia menyuarakan perombakan keseluruhan sepak bola Indonesia, dari PSSI, PT LIB, Panpel Arema, sampai kepolisian. Sepak bola Indonesia wajib berubah keseluruhan.

Aremania asal Singosari Malang, Muhammad Reza, pula mengutip tindakan senada. Anak muda berumur 29 tahun itu pula menyaksikan peperangan Arema FC anti Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 itu, bersama 8 temannya. Mereka bersandar di mimbar 14, serta tercerai berai dikala kekacauan suram itu.

9 Aremania itu seluruhnya aman. Namun, Reza berterus terang telah letih dan hendak setop tiba ke stadion. Keputusannya terasa ironis, sebab ia telah mensupport Arema semenjak berumur 9 tahun, alias telah 20 tahun jadi Aremania. Reza memahami Regu Singo Gila dari si bapak, yang pula seseorang Aremania.

” Rencananya telah tidak ingin nonton lagi. Buat apa nonton lagi jika tidak betul- betul terdapat pergantian dari benih organisasinya, PSSI. Mari dibuka seluruhnya permasalahan ini, diproses transparan, jika terdapat yang salah dari panpel, kepolisian, PSSI, seluruhnya. Mari buka seluruh,” sergah Reza.

” Aku letih. Jika enggak terdapat pergantian dari atas, aku mendingan menyudahi saja menyaksikan sepak bola. Dari dahulu begini- begini saja sepak bola Indonesia. Aku sudah

tidak terdapat antusiasme buat datang serta mensupport Arema lagi,” ekstra Reza yang dikala itu sedang batuk- batuk sebab dampak gas air mata di Stadion Kanjuruhan.

Rizal, yang kehabisan papa serta adiknya, pada kejadian Kanjuruhan pula memilah meminggir selamanya dari sepak bola Indonesia, khususnya Arema.” Aku bisa jadi nggak ingin nonton sepak bola Arema lagi. Sepak bola sudah merenggut nyawa ayah serta adik aku, bisa jadi cukup hingga di mari saja,” tegasnya.

3 partisan patuh Arema serta peminat sepak Bola Indonesia memilih berserah. Sepak bola Indonesia tengah tidak baik- baik saja.

Aksi Perdamaian Partisan, Wajib Penilaian Diri

Kejadian Kanjuruhan bukan cuma mendesak aksi menuntut revolusi sepak bola Indonesia. Kejadian suram itu melabrak pemahaman buat mengakhiri permusuhan yang keterusan.

Diakui ataupun tidak, permusuhan sebagian golongan partisan di Indonesia telah tidak sehat. Bayangkan saja, telah semenjak 2006, Aremania serta Bonek berikrar tidak saling hadir pada laga tandang Persebaya serta Arema.

Permusuhan Persib serta Persija sempat menyantap korban jiwa. Sedemikian itu pula kompetisi partisan Persis Solo, PSIM Yogyakarta, serta PSS Sleman. Seluruhnya jauh dari nilai- nilai sepak bola tentang kegiatan serupa serta kejujuran.

Kejadian Kanjuruhan menyentak pemahaman. Tanpa diinstruksi, kelakuan kebersamaan partisan bermunculan dari bermacam arah Indonesia.

Suporter- suporter yang ikut serta permusuhan hebat memperjuangkan perdamaian. Mereka mengetahui terdapat yang yang jauh lebih bernilai dari sepak bola, ialah manusiawi. Sepak bola pula wajib dikembalikan ke khitahnya, bukan jadi tanah pembenaran permusuhan tidak segar serta melalaikan nilai- nilai manusiawi.

Bonek, yang sepanjang ini jadi kompetitor turun- temurun Aremania, langsung melepaskan permusuhan dikala memandang kejadian Kanjuruhan. Mereka mengadakan berkah bersama di Monumen Bahadur yang diiringi ribuan orang. Beberapa perwakilan Bonek pula tiba langsung ke Stadion Kanjuruhan buat mengantarkan membela sungkawa. Sekat tinggi Malang- Surabaya lama- lama mulai terbuka. Aremania pula telah membuka pintu perdamaian, bukan cuma dengan bonek, tetapi pula partisan semua Indonesia.

Sesepuh Aremania, Anto Baret, menerangkan partisan tidak sepatutnya berselisih. Permusuhan cuma terjalin sepanjang perlombaan 90 menit.

” Rival kita bukan partisan. Sehabis memandang ratusan orang tewas, kita ketahui rival kita bukan partisan, tetapi gas air mata,” sergah Anto Baret.

” Perdamaian ini Insya Allah terkabul sendiri. Terlebih gerakan- gerakan perdamaian bukan kita di mari yang memerintahkan, namun mereka dengan pemahaman sendiri mau rukun dengan kerabat sejenis serta setanah air. Luar biasa serta dapat kasih.”

” Ayo kita awasi perdamaian ini, sebab amat berarti untuk kita seluruh,” hubung ia.

Pentolan bonek yang pula ketua Green Nord, Husin Ghozali nama lain Cak Cong, memohon partisan melaksanakan penilaian kepada diri sendiri terlebih dulu saat sebelum berjalan mengarah jalur perdamaian.

” Kita seluruh wajib melaksanakan penilaian, apa yang wajib diperbaiki. Bisa jadi sepanjang ini rivalitasnya kurang segar, pola pikir sahabat kita seluruh wajib diganti, permusuhan itu wajib gimana. Ke depan kita wajib ganti permusuhan jadi yang segar,” menggerai Cak Cong.

” Sekali lagi, kita saling respek dahulu saja. Tidak butuh terdapat jembatan serta semacamnya, yang berarti terdapat hasrat rukun. Mereka tiba ke mari, kita sowan ke situ, silih semacam itu, esoknya hendak cair sendiri,” hubung ia.

Aksi perdamaian pula menggeliat dari Solo serta Yogyakarta, yang sepanjang ini terperangkap dalam permusuhan hebat. Partisan Persija Jakarta serta pendukung Persib Bandung yang sering bergesekan pula mengadakan berkah bersama di Bandung.

Terkini Awal

Aksi perdamaian dari bermacam bagian partisan itu kolam secercah sinar jelas di akhir lorong hitam sepak bola Indonesia.

Tetapi, seluruh itu terkini dini. Menciptakan perdamaian yang sebetulnya serta berkelanjutan bukan masalah gampang. Wajib terdapat hasrat yang gigih, saling respek, serta kemauan bergandengan memulihkan sepak bola Tanah Air. Prosesnya akan panjang.

” Insiden Kanjuruhan wajib jadi titik balik partisan Indonesia. Memanglah terdapat sebagian regu yang mempunyai permusuhan besar di sepak bola, boleh- boleh saja serta wajar. Namun janganlah hingga permusuhan itu merugikan diri sendiri serta orang lain,” tutur Aji Santoso, instruktur Persebaya, yang tadinya sempat main serta melatih Arema, serta bermukim di Malang.

” Sepak bola itu wajib dapat dinikmati seluruh golongan. Betapa indahnya bila terdapat perlombaan di Malang, bonek dapat tiba, setelah itu terdapat laga di Surabaya, Aremania dapat muncul, perlombaan di Bandung sehingga Jakmania dapat tiba, serta kebalikannya.”

” Permusuhan boleh- boleh saja, dikemas dengan positif. Bersaing silakan, sebab dapat membuat sepak bola konsisten menarik, asal janganlah memunculkan korban. Mudah- mudahan ini jadi titik balik sepak bola Indonesia, manusiawi di atas segalanya,” ekstra ia.